W7mQLprqVQCi3tVCpPNyPSxFeYFCp5Up0iG8r9Ay

Musim Rewangan

Di sebuah sudut damai di Musi Rawas, tepatnya Tugumulyo, suasana sedang hangat dengan aktivitas rewangan. Musim rewangan, seperti yang diketahui para penduduk, adalah periode sibuk ketika masyarakat bergotong-royong membantu persiapan acara-acara penting, terutama pernikahan. Ini adalah waktu ketika kerja sama, tawa, dan lelucon menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.



Pagi itu, di rumah keluarga Tarmizi, persiapan pernikahan putri sulungnya sedang berjalan dengan penuh semangat. Ibu-ibu berkumpul di dapur besar, menyiapkan berbagai hidangan tradisional dengan kecekatan dan keahlian yang telah diwariskan turun-temurun. Di antara gemuruh canda dan tawa, suara nyaring Bu Minah, yang terkenal dengan humornya, sering terdengar, "Eh, jangan lupa, kalau ketan dibikin lengketnya kayak perjodohan yang kuat!"

Di luar rumah, para pria sibuk mendirikan tenda besar di halaman. Pak Suyitno, yang selalu memiliki cerita-cerita menarik, kali ini menggambarkan kisah heroik nenek moyangnya yang membantu menyiapkan hajatan besar zaman dahulu. Cerita-cerita ini selalu diakhiri dengan tepuk tangan dan sorakan, memberikan semangat tambahan kepada para pekerja.

Tidak ketinggalan, anak-anak kecil yang berlarian ke sana kemari, mengambil kesempatan ini untuk bermain sepuasnya. Mereka menirukan gaya orang dewasa, sambil sesekali mencuri pandang ke arah meja yang penuh dengan kue-kue lezat. Tawa dan canda mereka menambah kehangatan suasana, seolah-olah seluruh desa ikut merayakan kegembiraan bersama.

Rewangan tidak hanya tentang bekerja keras, tetapi juga tentang membangun kebersamaan. Di setiap sudut rumah, cerita-cerita lama tentang persahabatan dan cinta seringkali diungkit kembali. Misalnya, ketika Bu Ratna menceritakan bagaimana ia dan mendiang suaminya pertama kali bertemu di acara rewangan serupa, semua orang tertawa dan mengenang masa lalu dengan senyum penuh kenangan.

Menjelang siang, saat matahari semakin terik, sekelompok pemuda desa yang sedang mengangkut kursi tiba-tiba berhenti sejenak. Mereka duduk di bawah pohon besar, bercanda dan saling melempar guyonan tentang siapa yang akan menikah berikutnya. "Eh, Maman, kapan giliranmu? Sudah lama kamu rewangan, kapan mau bikin rewangan sendiri?" kata salah satu dari mereka, diiringi gelak tawa.

Seiring berjalannya waktu, rewangan tidak hanya menjadi tradisi, tetapi juga simbol persatuan dan gotong royong. Di tengah kemajuan zaman, Tugumulyo tetap memegang teguh nilai-nilai ini, mengingatkan kita bahwa di balik setiap pesta besar, ada tangan-tangan yang bekerja keras dan hati-hati yang tulus saling membantu.

Begitulah, di Tugumulyo, musim rewangan adalah saat di mana ikatan sosial diperkuat melalui tawa, cerita, dan kerja sama. Seperti pepatah lama yang mengatakan, "Satu tangan tak bisa bertepuk, perlu dua tangan untuk membuat suara." Di sini, suara itu adalah harmoni kebersamaan yang tidak akan pudar oleh waktu.

Post a Comment